Beranda | Artikel
Beriman Kepada Takdir
Minggu, 30 Oktober 2016

Salah satu pondasi keimanan seorang muslim adalah beriman kepada takdir. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanyai oleh Jibril tentang apa itu iman, beliau pun menjawab, “Engkau beriman kepada Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan hari akhir, serta engkau beriman kepada takdir yang baik dan yang buruk.” Lantas Jibril mengatakan, Engkau benar (HR. Muslim).

Seorang muslim wajib mengimani bahwa Allah telah mengetahui segala sesuatu sebelum Dia menciptakan makhluk. Lalu, Allah menetapkan hal yang akan terjadi tersebut dan Dia tuliskan di dalam Lauh Mahfuzh lima puluh ribu tahun sebelum Dia menciptakan langit dan bumi. Maka apa yang Allah kehendaki akan terwujud, dan apa yang tidak dikehendaki-Nya tidak akan terwujud.

Unsur iman kepada takdir

Untuk mewujudkan iman kepada takdir secara sempurna, haruslah dengan mewujudkan unsur-unsur iman kepada takdir. Unsur-unsur iman kepada takdir terdiri dari empat hal (Al Qadha’ wal Qadar, hal. 26) :

Pertama, mengimani bahwa ilmu Allah meliputi segala sesuatu. Allah mengetahui keadaan seluruh makhluk-Nya, dan Dia maha mengetahui peristiwa apa saja yang telah terjadi, sedang terjadi, dan akan terjadi. Allah juga mengetahui apa saja yang tidak terjadi, dan jikalau hal itu terjadi, Allah mengetahui bagaimana hal itu akan terjadi.

Allah berfirman (yang artinya), “Dan Allah maha mengetahui segala sesuatu.” (QS. Al Baqarah : 282). Secara rinci, Allah mengabarkan, “Dan di sisiNya-lah kunci-kunci hal yang gaib, tidak ada yang mengetahui selain Dia. Dia mengetahui apa saja yang ada di darat dan di laut. Tidak ada sehelai daun pun yang gugur yang tidak diketahui-Nya, tidak pula sebutir biji pun dalam kegelapan bumi (yang tidak diketahui-Nya), tidak pula ada sesuatu yang basah atau yang kering yag tidak tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh)” (QS. Al An’am : 59)

Kedua, beriman bahwa Allah telah menulis seluruh takdir segala sesuatu dari awal hingga hari kiamat di dalam Lauh Mahfuzh. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan, “Allah telah menuliskan takdir seluruh makhluk lima puluh ribu tahun sebelum Dia menciptakan langit dan bumi.” (HR. Muslim). Ada tiga pencatatan takdir (Syarh al Arba’in an Nawawiyyah, hal. 57):

Pertama, catatan takdir yang ada di Lauh Mahfuzh. Dalam Lauh Mahfuzh ini, tercatat takdir segala sesuatu secara terperinci.

Kedua, catatan malaikat atas individu tertentu. Setiap janin yang telah berumur empat bulan di dalam rahim ibunya akan diutuskan seorang malaikat yang bertugas mencatat rezekinya, amalnya, ajalnya, dan apakah dia termasuk yang bahagia atau yang celaka. Hal ini sebagaimana terdapat dalam hadits Ibnu Mas’ud yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim.

Ketiga, catatan tahunan para malaikat. Setiap malam lailatul qadar, terjadi pemindahan catatan dari catatan yang ada dalam Lauh Mahfuzh ke catatan para malaikat mengenai takdir segala sesuatu yang akan terjadi dalam setahun terhitung sejak malam lailatul qadar. Allah berfirman (yang artinya), “Pada (malam itu) dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah.” (QS. Ad Dukhan : 4)

Ketiga, mengimani segala yang terjadi di dunia ini adalah berdasarkan kehendak (masyi-ah) Allah. Semua perbuatan makhluk juga terjadi karena Allah berkehendak agar terjadi. Allah berfirman (yang artinya), “Dan kamu tidak dapat berkehendak (menempuh jalan yang lurus itu) kecuali apabila dikehendaki oleh Allah, Tuhan seluruh alam.” (QS. At Takwir : 29)

Keempat, mengimani bahwa Allah menciptakan segala sesuatu. Termasuk perbuatan hamba, Allah-lah yang menciptakannya. Allah berfirman (yang artinya), “Padahal Allah-lah yang telah menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat.” (QS. Ash Shaffat : 96)

Manusia diberi pilihan

Manusia melakukan perbuatan-perbuatannya dalam keadaan bebas tanpa paksaan. Manusia diberi pilihan untuk melakukan kebaikan atau keburukan. Sejak zaman azali, Allah telah mengetahui apa yang akan diperbuat oleh hamba-Nya, kapan akan dilakukannya, dimana dia lakukan, dan bagaimana dia melakukannya. Allah telah mengetahuinya sebelum Allah menciptakan alam semesta beserta isinya. Allah memberikan pilihan kepada para hamba antara kebaikan dan keburukan. Dan sebelum Dia menciptakan hambaNya, Dia telah mengetahui apa yang akan dipilih hambaNya apakah kebaikan atau keburukan. Kemudian dengan ilmu-Nya ini, Allah takdirkan perbuatan hamba tersebut untuk terjadi, yakni Allah tuliskan di catatan takdir di Lauh Mahfuzh bahwa hamba-Nya tersebut memilih untuk melakukan perbuatannya itu.

Misalnya, si A pada suatu hari mencuri sandal di masjid. Sejak sebelum terciptanya alam, Allah telah mengetahui bahwa si A ini akan mencuri sandal di masjid. Si A pada hakikatnya sebelum melakukan perbuatannya itu diberi pilihan apakah dia akan mencuri sandal atau tidak mencuri. Kemudian si A memilih untuk mencuri sandal. Sebelumnya, Allah telah mengetahui bahwa si A ini akan memilih untuk mencuri sandal. Maka Allah tuliskan dalam catatan takdir bahwa si A akan mencuri sandal pada waktu sekian di tempat tertentu. Perbuatan mencuri sandal adalah pilihan si A dan Allah yang menetapkan pilihan si A itu terjadi.

Dengan demikian, manusia pada hakekatnya diberi pilihan untuk melakukan perbuatan-perbuatan mereka. Manusia secara hakekat adalah pelaku perbuatan-perbuatannya dan Allah yang menciptakan dia juga perbuatannya.

Dalam masalah ini, ada dua kelompok manusia yang menyimpang. Kelompok pertama adalah kelompok Qodariyyah, yaitu mereka yang menolak adanya takdir. Mereka berkeyakinan bahwa Allah tidak pernah menetapkan takdir dan manusia adalah penentu dirinya sendiri. Konsekuensi dari keyakinan mereka ini adalah bahwa Allah tidak mengetahui apa yang akan diperbuat hamba-Nya sampai si hamba melakukan perbuatannya. Tentu saja hal ini mustahil bagi Allah.

Kelompok kedua adalah kelompok Jabariyyah. Kelompok ini berkeyakinan bahwa manusia tidak memiliki kehendak dan pilihan. Allah yang mengatur apa saja yang akan diperbuat hamba tanpa si hamba memiliki pilihan untuk menentukan apa yang akan dia perbuat. Dapat diungkapkan, manusia ibarat wayang yang tidak bisa melakukan perbuatan apa-apa. Mereka hanya bergerak sesuai arahan dalang yang menggerakkan mereka. Bila memang demikian, lantas untuk apa Allah menurunkan perintah dan larangan, mengutus para rasul dan menurunkan kitab jika pada akhirnya manusia sebenarnya hanya bergerak sesuai arahan takdir yang telah ditentukan untuk mereka tanpa mereka memiliki pilihan untuk melakukan perbuatan mereka sendiri?

Adapun ahlus sunnah wal jama’ah, mereka bersikap pertengahan. Mereka meyakini bahwa Allah yang menentukan takdir dan mencatat amalan para hamba di catatan takdir. Bersama dengan itu para hamba diberi pilihan untuk menentukan perbuatan mereka sebagaimana telah diterangkan di atas.

Keburukan tidak dialamatkan kepada Allah

Takdir ada yang berupa hal-hal baik dan terkadang berupa hal-hal yang buruk. Kita wajib meyakini takdir yang baik dan takdir yang buruk. Namun, hal-hal buruk tidak dialamatkan kepada Allah. Semisal terjadi kejahatan, perbuatan buruk, dan dosa, hal-hal tersebut sudah ditakdirkan akan terjadi. Namun, kita tidak boleh mengalamatkan hal-hal buruk tersebut kepada Allah dengan mengatakan misalnya, Keburukan ini datangnya dari Allah.” Ini tidak beradab kepada Allah. Allah memang menakdirkan perbuatan buruk terjadi, namun itu disebabkan oleh makhluk sendiri. Di samping itu, Allah mengizinkan terjadinya perbuatan buruk untuk terwujudnya hikmah yang lebih besar.

Hal ini dapat kita perhatikan seperti pada firman Allah, “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan apa yang telah diperbuat oleh manusia.” (QS. Ar Rum : 41) Kerusakan di bumi adalah hal buruk, namun sebabnya adalah perbuatan manusia. Maka Allah takdirkan dan izinkan terjadinya keburukan, yaitu kerusakan di muka bumi. Namun di balik timbulnya kerusakan ini, Allah menghendaki hikmah yang lebih besar, “Allah mengendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka supaya mereka kembali (ke jalan yang benar)” (QS. Ar Rum : 41).

Terkadang, setan menggoda manusia agar melakukan perbuatan dosa. Lalu, dilakukanlah dosa tersebut oleh si hamba. Terjadinya dosa telah ditakdirkan oleh Allah sebelumnya dan Allah izinkan untuk terjadi. Sejatinya, Allah tidak mencintai perbuatan dosa tersebut, namun Dia izinkan hal itu terjadi supaya terwujud maslahat dan hikmah yang besar. Setelah si hamba berbuat dosa, dia menjadi menyesal dan bertaubat. Taubat hamba ini adalah maslahat besar di balik dosa yang ia kerjakan.

Tidak boleh berpangku tangan

Islam mengajarkan kita untuk semangat dan tidak berpangku tangan serta berpasrah begitu saja menunggu nasib tanpa berusaha menempuh sebab. Setiap manusia tidak mengetahui apa yang ditakdirkan untuknya. Untuk itu, dia harus berusaha meraih yang terbaik untuknya. Suatu hari seorang sahabat bertanya pada Rasulullah, “Wahai Rasulullah, kenapa kita tidak berpasrah saja pada catatan takdir kita dan tidak usah beramal?” Rasulullah pun mengajarkan, “Beramallah karena semua orang akan dimudahkan menuju tujuan penciptaannya. Barangsiapa yang tercatat sebagai penduduk surga, dia akan dimudahkan mengerjakan amalan penduduk surga. Dan barangsiapa yang tercatat sebagai penduduk neraka, dia akan dimudahkan mengerjakan amalan penduduk neraka.” Lantas, beliau membaca firman Allah (yang artinya), “Barangsiapa memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa, serta membenarkan (adanya pahala) yang terbaik (surga) maka akan Kami mudahkan baginya jalan menuju kemudahan (kebahagiaan). Adapun orang yang kikir dan merasa dirinya cukup (tanpa memerlukan pertolongan Allah), serta mendustakan pahala yang terbaik, akan Kami mudahkan baginya jalan menuju kesukaran (kesengsaraan).” (QS. Al Lail : 5-10).

Takdir adalah rahasia Allah, yang semua kita kembalikan kepada Allah. Kita tidak boleh bertanya mengapa dan bagaimana tentang perbuatan Allah. Sehingga mengimani takdir adalah mengimani kekuasaan Allah. Kewajiban kita adalah beramal menjalani syari’at, yang akan ditanya oleh Allah kelak di akhirat.

Penulis : Miftah Hadi Syahputra Anfa (Alumni Ma’had Al ‘Ilmi Yogyakarta)

Murojaah : Ust. Afifi Abdul Wadud, BIS


Artikel asli: https://buletin.muslim.or.id/beriman-kepada-takdir/